perselingkuhan jiwa

Dalam beberapa pekan, Anisa terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya yang riang ceria, beberapa pekan ini terlihat sangat murung. Berulang kali ketika kusapa, hanya jawaban-jawaban singkat yang kudapat. Entah karena ia mulai belajar meng-efektifkan bahasa atau enggan bicara banyak denganku, atau mungkin sedang dirundung banyak masalah atau mungkin kehidupan pribadinya sedang tidak nyaman, aku tak begitu tau. Bukan tugasku pula kan untuk mengetahui setiap masalah orang? Aku tak terlalu suka untuk tau masalah orang, karena biasanya, aku pun tak terlalu suka masalahku di ketahui banyak orang.

Anisa ini sobat baik. Teramat baik bagiku, walau aku tak bisa mengatakan bahwa ia adalah yang terbaik. Dia adalah sobat yang belum teruji. Itu intinya. Bagiku, sobat terbaik adalah mereka yang pernah berantem, bermusuhan, bahkan saling pukul denganku, namun pada akhirnya kami bisa kembali menjadi sahabat lagi. Itulah bagiku yang terbaik, disaat hubungan sangat buruk, kami tau bahwa ini semua bisa diperbaiki. Kami akan punya sesuatu untuk selalu di ingat, bahwa tatkala kami berada pada situasi buruk sekalipun, kami akan tau bahwa hubungan kami ini telah teruji. Kami akan bisa mengatasinya.

Berbeda dengan Anisa, tidak ada sesuatu yang luar biasa. Perkenalan kami dulu biasa saja, ketika ia dan pacarnya datang bersama seorang temanku yang mengantar mereka untuk menanyakan apakah di kostku masih ada kamar kosong, yang bukan kebetulan memang ada yang kosong. Rupanya, Anisa yang ingin mencari kost di tempatku, mengingat tempat kerjanya yang tak terlalu jauh dari lokasi kost yang aku huni. Sejak itulah aku mengenal mereka, anisa dan pacarnya, Anton, yang kemudian kuketahui adalah seorang karyawan di salah satu suplier kantorku bekerja. Jadi, ya kemudian aku mengenal mereka dengan baik, dan penuh sopan santun.

Satu yang kurasa aneh, adalah mereka tidak tinggal bersama. Ini sesuatu yang agak aku jumpai di daerah tempat tinggalku ini. Entahlah, terkadang baru pacaran sekalipun, banyak orang telah menjadikannya sebagai alasan legal untuk tinggal serumah. Tak peduli dengan istilah buruk yang mereka sandang, yakni pasangan kumpul kebo. Tapi jangan tersenyum dulu, karena dugaanku pun tak salah, bahwa ternyata mereka, Anisa dan kekasihnya itu pun pernah berada di jalan itu, walau kini tidak lagi. Entah kenapa aku ga mau tau, dan persoalan ini pun kuketahui belakangan hari setelah hubuangan pertemanan ku dengan Anisa lebih baik.

Oya, aku belum bercerita tentang bagaimana visualisasi Anisa ini rupanya. Jika aku memandangnya dengan sangat cermat, haha, terkadang aku suka mencuri pandang padanya. Mukanya tirus, dengan hidung mbangir dan mata yang tak terlalu besar atau terlalu sipit. Alisnya pendek, tidak terlalu penuh melingkari kelopak matanya, dan selalu cerah. Proporsi tubuhnya semampai walau tak lebih tinggi dari aku. Terkadang aku suka menghayal, seandainya dia adalah kekasihku, tentulah sangat bahagia hatiku.

Aku tidak akan cerita tentang khayalanku disini, dan aku tidak ingin memaparkan perasaanku terlalu jauh disini. Mohon di maklumi ya. Tapi jujur saja, setelah beberapa pekan ini melihatnya murung, aku justru mengamati dia lebih jauh. Tentu, juga dari jauh. Ada yang aneh memang, mulai jarang kulihat si Anton datang, dan kalaupun datang tidak pernah berlama lama. Ah biarlah, urusan mereka. Ini yang selalu kukatakan dalam hatiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sebuah harapan

kuingat

puisi dari namaku